Hari ini ketika aku menengok seseorang di rumah sakit, teman
ayahku yang sedang terbaring di atas ranjang putih beserta jarum yang menusuk
pergelangan tanggannya semakin emnambah suasana yang agak berbeda. Bau meyengat
dari bercampur baurnya semua obat menjadi satu. Aku terlihat oleh sosok wanita
yang berada disebelah sang tema ayahku yang terduduk tanpa suara, tanpa gerak-gerik,
tanpa sorotan mata tajam menandakan bahwa ia sedang lemah baik raga dan semoga
jiwa tak demikian. Wanita yang berbaju agak kusam dengan balutan kerudung
menutup dada, tangan-tangan yang mulai keriput selalu engelus dan meletakkan
tangannyake badan sang lelaki tak kekar lagi itu, sakit yang dirasakan oleh
lelaki tersebut adalah berupa stroke
sebelah, dimana untuk menggerakkan badan saja masih diusahakan. Hanya gerak
bibir dan suara yang tak jelas itu menjadikan acuan , dan bagaimana berbicara
kepada isterinya, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dibantu. Hanya
sengatan dan persepsi seorang isteri yang begitu tajam yang mengerti akan makna
dari suara hati sang suami.
Kadang kala jika apa yang diinginan oleh sang suami salah,
ia bias berteriak kecil, karena mulut tak mnegizinkan ia berbicara dengan
fasih. Seperti ayalnya seorang yang bisu. Rambut yang memutih semuanya menajdi
tanda semakin tuanya seseorang. Sang suami emmint duduk, sang isteri pun dengan
sigapnya menganggat sendiri raga sang suami dengan raut muka penuh kesabaran
dan keikhlasa apa yang telah dialami oleh suaminya. Begitu sabarnya hingga ia
beruapaya untuk emngerti dengan penuhnya apa yang diinginkan oleh suaminya.
Raut mukany dan sorotan mata sang isteri selalu tertuju kepada sang suami, dan
sesallu mengelus dan memijat ringan anggota badan sang suami. Tak pernah lelah
kuliha dari raut mukanya.
Ternyata yang menemani sang isteri tersebut adalah isteri
pertama dari dang suami, sang suami yang tua itu ternyata memiliki istri muda.
Tetapi yang kulihat dalah. Hanya seorang isteri tertua dan pertama yang selama
ini merawatnya. Dimana sang isteri muda? Isteri kedua? Apa yang sedang
dilakukannya saat ini? Itulah yang menghuam hati ini, hatiku penuh tanda Tanya.
Begitu sabarnya isteri pertama ini kulihat mengurus segala keperluan sang
suami.
Begitu sedih ku melihat. Tetapi dilain hal itu merupakan
tolak ukur. Wabhwa sang suami dan isteri walaupun sedih dan bahagia harus
ssaling elengkapi, saling menemani, saling memabnut, saling mnyayangi. Tak
ayalnya tolak ukur bukanlah batas usia. Tap bagaimana kita saling melengakapi perbedaan ini hingga kita bertemu kembali
keapda Sang Maha Pemberi Cinta. Menajdikan keluarga sebagai jalan menuju
keridhoan Allah, sebagai jalan menuju akhirat.
Aku begitu terharu, hati dan air mataku ngin segera menetes
saat itu.tapi aku mencoba untuk menahan. Biarlah ahtiku merasakan rasa ini.
Mataku mulai berbinar. Tapi kuberusaha menahannya. Begitu sangat ku merakasakn
empati itu. Raut muka antar keduanya saling menjelaskan bahwa hidup memang
harus berbagi , adanya hak dan tanggung jawab yang dipngkul bersama, dan
bersama mejalaninya.
Ucapa syukur segera kuucapkan dari bilik bibir tipisku. Raut
mukaku begitu tercenangang dan terkejut tatkala aku tau bahwa masih ada wanita
yang sudah disakiti teapi ia amasih bias maafkan dengan caranya merawat dan
menerima keadaan suaminya walaupun ia diduakan.
Alhamduilllah yang kruasakan saat ini hanya mengucap syukur,
masih diberi kesehatan, dapat mgnhirup udara dengan nyamannya, dapat berkumpul
dengan anggota keluarga yang lengkap,
